Sumber : Makalah
Pengajian Rutin Ahad Pagi / 20 Mei 2012
KH. M.
Rahmat Najieb, S.Pd
Masjid PP.
Persatuan Islam Viaduct Bandung
“Apabila
kamu hendak mendirikan shalat sempurnakanlah wudlu kemudian menghadap kiblatlah
dan bertakbirlah.....” (HR. Muslim)
Pada saat shalat difardukan, Allah
SWT tidak menentukan arah kemana seharusnya menghadap. Karena itu Rasulullah Saw harus mengikuti
syariat nabi sebelumnya. Syariat sebelum
beliau adalah saat shalat, wajib menghadap Baytul Maqdis yang terletak di
Masjid al-Aqsha Palestina. Sebenarnya
Rasulullah Saw sangat menginginkan arah qiblat itu ke Ka’bah yang terletak di
tengah Masjid Haram Makkah Mukarrohmah.
Beliau berkeyakinan suatu saat nanti qiblat akan beralih ke sana, tetapi
beliau tidak mengetahui waktunya.
Karena keinginan yang besar
menghadap ke Ka’bah dan ketidakcocokan hati, Rasulullah Saw sering mengadahkan
wajahnya ke langit menunggu-nunggu turunnya Malak Jibril dari langit sambil
membawa wahyu, maka turunlah ayat 144 QS. Al-Baqarah.
“Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu mengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke qiblat yang kamu sukai, palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab
(Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu
adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa aturan
Islam itu tidak didasarkan kepada keinginan seseorang sekalipun Nabi Muhammad
Saw. Hal itu pun menunjukkan bahwa
beliau sama sekali tidak berkuasa menentukan cara ibadah. Apa yang ditetapkannya merupakan wahyu dari
Allah Swt.
Ada beberapa alasan Ka’bah menjadi
pilihan beliau, diantaranya: Ka’bah adalah rumah pertama yang dibangun untuk
manusia beribadah. Ka’bah pertama kali
dibangun oleh kakek moyang beliau yaitu Nabi Ismail as. dan Nabi Ibrahim as.
“Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah
yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia.” (QS. Ali Imran (3): 96)
Ka’bah dan Hajar Aswad tidak
dianggap suci apalagi sembahan oleh orang-orang yang beriman. Khalifah Umar bin Khattab saat akan mengecup
Hajar Aswad ia berseru,
“Sungguh
aku tahu bahwa engkau adalah batu; tidak dapat memberi madhorot dan tidak dapat
memberi manfaat. Kalaulah aku tidak
benar-benar melihat Nabi Saw mengecupmu, aku tidak akan mengecupmu.” (HR. Bukhari)
Bila kita shalat hendaklah menghadap
Masjid Haram. Ketentuan ini berlaku bagi
setiap muslim yang hendak mendirikan shalat di mana saja mereka berada. Perintah ini pun menunjukkan bahwa setiap
muslim wajib mengetahui posisi Masjid Haram, dan mempelajari letak Makkah
Mukarrohmah dalam peta.
Dalam peta atau atlas, diketahui
bahwa Makkah terletak kira-kira 21 derajat Lintang Utara dan 40 derajat Bujur
Timur, sedangkan Bandung, Jawa Barat, Indonesia berada di 7 derajat Lintang
Selatan dan 108 derajat Bujur Timur, berarti Makkah berada di sebelah Barat
Bandung 28 derajat ke Utara. Badan Hisab
Internasional menciptakan kompas untuk menentukan arah qiblat dengan menentukan
untuk Jawa Barat 25 derajat ke Utara.
Sebenarnya dengan kompas sederhana pun kita dapat mengetahui arah qiblat
yang tepat. Jangan menggunakan letak
matahari untuk menentukan arah qiblat, karena posisinya tidak selalu berada di
katulistiwa, kecuali pada tanggal 28 Mei
dan 16 Juli setiap tahun sekitar pukul 16:15 s.d 16.30 WIB matahari tepat di
atas Ka’bah.
Bila
kita berada di suatu tempat yang asing dan tidak ada orang lain yang tahu arah
mata angin atau berada di tempat yang gelap sehingga bingung menetukan arah
qiblat dengan tepat, maka berijtihadlah dan tentukan berdasar perkiraan. Orang yang tidak tepat menghadap qiblat
karena tidak tahu, ia tidak durhaka.
Namun setelah diberi tahu dan tetap juga salah, maka shalatnya tidak
sah.
Jika kita sedang shalat sementara
arah qiblatnya tidak tepat, kemudian ada orang lain yang memberitahu arah
qiblat yang sebenarnya, maka berpalinglah sesuai petunjuknya. Hal ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah
Saw. Saat itu ada seorang sahabat yang
mendatangi orang-orang yang sedang shalat dengan menghadap Baytul Maqdis,
katanya kepada mereka “Hai qiblat telah berubah.” kemudian mereka mengubah
arahnya sehingga menghadap Masjid Haram. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud)
Apabila kita dalam kendaraan yang
tidak memungkinkan untuk berhenti dan tidak bisa berdiri shalat, maka
lakukanlah shalat sambil duduk di dalam kendaraan. Tetapi untuk sholat tathawu’ dibolehkan
shalat sambil duduk tanpa alasan.
Caranya hadapkan wajah ke qiblat saat melakukan takbiratul ihram (HR.
Abu Dawud) lalu menghadaplah ke mana kita sedang menghadap. (Muttafaq alayh) Lakukan sujud lebih rendah dari rukuk. (HR.
Al-Baihaqi)
Bagi orang yang tidak mampu
menghadap qibalat karena sakit misalnya, ia diperbolehkan menghadap ke mana
saja sesuai kemampuannya. Demikian juga
ketika sedang melaksanakan shalat khauf.
Tidak
ada hujjah atau alasan untuk mengingkari wahyu yang diturunkan Allah, karena
para ulama yahudi dan nasrani pada saat itu sebenarnya sudah meyakini tentang
kenabian Muhammad Saw, tetapi mereka tidak mau beriman. Mereka membuat pernyataan palsu di depan kaumnya,
sebagaimana diceritakan Allah dalam QS. Al-Baqarah: 142. Allah Maha Tahu dan pasti akan membalas
perbuatan mereka.
Seyogyanya
keberadaan Ka’bah, sumur zam-zam, maqam Ibrahim di Masjid al-Haram menjadi
mu’jizat kebenaran Risalah Nabi Muhammad Saw.
Sebenarnya orang-orang kafir terutama yahudi dan nasrani merasa iri dan
putus asa melihat kesempurnaan Islam, lebih-lebih karena kita mempunyai pusat
arah ibadah yaitu Ka’bah sebagai qiblat.
Mereka sulit untuk mengikuti dan menetapkan arah qiblatnya, buktinya
mereka beribadah menghadap ke mana saja dan kapan saja mereka suka.
Subhanallah, Wallahu’alam
bisshawaab